www.gata.com

Grafik Pergerakan Harga Dinar dalam Rupiah & Dollar AS


 

Tuesday, August 17, 2010

Mundell 1997 : Could Gold Make a Comeback? part 5


Tinjauan Historis

Kini mari kita ambil pandangan yang lebih jauh dari sistem moneter internasional, membaginya dalam masing-masing fase. Periode 1815 hingga 1873 adalah periode bimetalism, dimana emas dan perak adalah basis dari aset devisa termasuk negara utama saat itu Perancis dan AS. Selama Perang Sipil, AS menunda convertibility, meninggalkan Perancis seorang diri dia ntara kekuatan utama dunia dalam bimetallism .Ingat bahwa dalam ekonomi dunia, selama sebuah negara mematok harga barang dan jasanya dengan perak dan emas, maka akan mematok harga relatif barang dan jasanya terhadapa emas dan perak di seluruh dunia. Mulai 1815 hingga 1873, rasio harga relatif emas dan perak bervariasi antara 15:1 dan 16:1. Sistem bimetalic ini menimbulkan kesatuan sistem moneter dunia, menimbulkan kepastian nilai tukar antara negara yang menggunakan standar perak dengan negara yang menggunakan standar emas ini. Dukungan sistem moneter emas dan perak mengalami sedikit penurunan ketika AS menurunkan standar komoditasnya dan terjebak dalam inflasi mulai 1862 hingga 1879. Tetapi apa yang terjadi pada tahun 1870-an? Perancis terlibat perang dengan Jerman dan harus menghentikan converbility. Maka tidak ada satupun negara yang mengaitkan mata uangnya dengan emas dan perak kecuali beberapa negara seperti Belgia dan Swiss yang tergabung dalam Latin Monetary Union, tetapi negara-negara ini terlalu kecil untuk mengatur sistem tersebut dan oleh karenanya mengikuti Perancis dan memutuskan convertibility (kemampuan menukar mata uangnya dengan timbangan emas dan perak).P erancis melontarkan ide untuk kembali ke sistem standar moneter emas dan perak, tetapi dengan produksi perak AS yang meningkat dan Jerman melakukan dumping perak ketika pemerintahan Jerman yang baru beralih kepada emas, Perancis menyadari bahwa ide tersebut berarti mereka harus membeli kelebihan seluruh produksi perak di dunia menjadi asetnya. Perak akan menggantikan seluruh mata uang berbasis emas. Jadi Perancis tidak jadi kembali ke sistem bimetallism dan pada akhirnya sistem tersebut mati.

Ekonomi dunia saat itu menjadi terbagi ke dalam standar emas internasional di satu sisi dan standar perak internasional di sisi lain. Peran moneter perak telah berkurang dan emas mulai memotong arus utama ekonomi dunia kala itu. Selama tahun 1873 hingga 1896, tingkat harga barang dan jasa jatuh. Pada periode ini rakyat melakukan pemberontakan di Midwest (suatu daerah di AS yang kaya dengan pertanian). Rakyat membenci kenyataan bahwa para petani harus membayar utang dengan nilai mata uang yang telah mengalami kenaikan nilai (apresiasi). Pada tahun 1896, William Jennings Bryan's (Politisi AS kala itu) menggugah para audiens dengan pidatonya (di Drexel Avenuue Chicago) dimana dia menggambarkan bahwa para petani Amerika sedang " disalib" melalui penggunan sistem moneter berbasis emas. Ada deflasi di negara-negara berbasis emas pada periode ini karena ketika negara-negara tersebut beralih dari bimetallism ke standar emas, gerakan tersebut menyebabkan kelebihan permintaan terhadap emas--kebijakan uang ketat-- dan hasilnya, deflasi (penurunan harga secara umum). Juga di tahun 1873, Prussia dan negara-negara Skandinavia melepaskan standar perak, menekan perak dan menimbulkan inflasi di negara-negara yang loyal dengan perak. Jadi ada dua kubu selama periode tersebut : negara-negara standar perak yang terkena inflasi dan negara-negara standar emas yang terkena deflasi hingga tahun 1896, ketika, akhirnya peningkatan suplay emas dari Afrika Selatan, ketika emas ditemukan di Witswatersrand pada tahun 1886, dan pengaruh ini ditambah dengan pengenalan proses Cyanide untuk membawa sejumlah besar emas masuk ke dalam sistem pengolahan kimawi.

Pada tahun 1914, negara-negara Eropa memutuskan kaitan emas dalam sistem moneternya, untuk membiayai defisit belanja negaranya. Hal ini menyebabkan emas lari ke AS untuk membiayai persenjataan perang dan berbagai peralatan perang lainnya. Emas membanjiri AS dan tidak lama kemudian The Federal Reserved menjadikannya alat tukar yang sah (legal tender), menyebabkan harga emas naik dua kali lipat. Sebagaimana yang selalu terjadi ketika suatu negara masuk atau keluar dari standar emas, emas menJadi tidak stabil pada tahun 1914. Mulai 1914 hingga 1924, kita memilki patokan standar dollar karena AS adalah satu-satunya negara (yang memiliki mata uang utama dunia) yang mengaitkan mata uangnya dengan emas dan negara-negara lain mulai mengaitkan mata uang nya lebih kepada dollar dibanding terhadap emas. Kemudian pada tahun 1924 Jerman kembali menggunakan standar emas dalam rencana stabilisasi moneternya untuk menghentikan Hyperinflasinya. Pada tahun 1925 Inggris tidak mau ketinggalan dari Jerman, kembali menggunakan standar emas. Pada 1926 Perancis juga berbalik menggunakan standar emas kurang lebih karena Inggris dan Jerman telah kembali menggunakan emas ; dan Perancis kembali pada tingkat mata uangnya yang undervalued (dibawah nilai yang sebenarnya terhadap emas).

Jadi seluruh dunia kembali menggunakan standar emas, dan apa yang Anda pikir akan terjadi? Baru saja tahun 1914, ketika negara-negara melepaskan standar emas, menimbulkan inflasi, dan ketika kembali ke standar emas, hal ini menyebabkan kenaikan permintaan emas dan menyebabkan deflasi. Deflasi tahun 1930an yang merupakan faktor utama terjadinya depresi, adalah konsekuensi langsung dari gerakan kembali ke emas pada tingkat harga di tahun 1920an yang berada di atas tingkat harga equilibrium (titik keseimbangan harga) untuk titik keseimbangan harga dibawah standar emas. Tentu saja faktor lain terlibat dalam depresi (1930-an di AS), termasuk di dalamnya dampak langsung dari tarif Smoot-Hawley, tetapi faktor utama adalah mulainya deflasi dipicu oleh perbaikan standar emas internal yang undervalued . Inggris melepaskan standar emas tahun 1931, dan AS tahun 1933.A S kemudian kembali ke standar emas setelah mendevaluasi dollarnya tahuj 1934. Perancis tetap dengan standar emas, tetapi pada tahun 1936, Perancis harus mendevaluasi mata uangnya dan merupakan negara terakhir yang meninggalakan Reformed Gold Standard pada periode pasca perang. Tahun 1936 juga merupakan tahun perjanjian moneter tripartit yang menjalankan sistem moneter internasional yang baru, standar dollar dimana dollar adalah satu-satunya mata uang yang yang dikaitkan dengan emas.

Seluruh negara lain dalam sistem itu tetap menjaga sistem yang mengaitkan mata uangnya dengan dollar. Sistem tersebut berjalan antara tahun 1936 hingga 1971. Setelah Presiden Nixon memutuskan kaitan dollar dengan emas pada agustus 1971, terjadi nilai tukar mengambang selama beberapa bulan. Kemudian negara-negara kembali mengaitkan mata uangnya dengan dollar tidak dengan emas, pada Desember 1971. Kini sistem tersebut murni menjadi standar dollar yang hanya berjalan apabila cadangan devisa suatu negara dapat menjaga disiplin moneternya. Sebelumnya, sejak tahun 1945, dollar hanya dijamin dengan 25% cadangan emasnya saja dan pada tahun 1960 sama sekali tidak dijamin dengan cadangan emas. Convertibility pada akhirnya hanya tinggal janji, dan hal itu selalu menjadi cover inflasi. Tetapi pada periode ini AS mengikuti kebijakan moneter yang terlalu memicu inflasi bagi negara-negara lain. Pada Februari 1973, AS lagi-lagi mendevaluasi (pemotongan atau pengurangan nilai) dollar , satu hal yang amat tidak bisa diterima yang makin memicu ulah spekulan. Dollar tetap mengalir ke luar negeri dan pasar Eurodollar guncang. Eropa mencoba menggabungkan mata uangnya yang mengambang melawan dollar. Tetapi orang-orang Eropa tidak bisa memutuskan untuk menyesuaikan perbedaan nilai mata uang mereka atau apakah Inggris, Perancis, atau Jerman yang seharusnya menjadi acuan utama mata uang eropa dengan sistem mengambang.Pada periode ini Mark Jerman menjadi mata uang terkuat di Eropa, tetapi Inggris dan Perancis tidak ingin menyerahkan posisi tersebut kepada Mark. Butuh satu dekade ke depan sebelum ke dua negara tersebut mengakui bahwa Mark merupakan mata uang terkuat di Eropa.

Pada Juni 1973, Komite 20 menyerah pada sistem moneter internasional dan beralih kepada nilai tukar mengambang hingga masalah inflasi terpecahkan. Ini adalah penjelasan yang paling memalukan karena seluruh fungsi dalam sistem moneter internasional mesti melakukan pendekatan bersama untuk memecahkan masalah inflasi! Mulai 1973, kita bergelut dibawah rezim nilai tukar mengambang dimana AS dan Eropa mengalami tingkat inflasi tertinggi dalam masa damai (tidak dalam kondisi perang sebagaimana PD I & II) dalam kebijakan moneter dalam sejarah. Pada kurun 1970-an, tingkat inflasi tahunan meningkat 13% atau 14% di AS, dan harga emas menembus angka di atas $850 per troy ounce pada Feburari 1980. Ini terjadi karena kekhawatiran bahwa AS akan kehilangan disiplin moneternya dan depresiasi terhadap dollar terhadap mata uang asing akan terus berlanjut. Episode inflasi di AS memaksa masyarakat Eropa untuk bereaksi sebab ancaman integrasi moneter Eropa berkait langsung dengan melemahnya dollar. Melemahnya dollar adalah alasan bagi Helmut Schmidt (Kanselir Jerman Barat saat itu) dan Giscard d'Estaing (Presiden Perancis) bertemu di Bremen pada 1978 dan setuju untuk membentuk Sistem Moneter Eropa. Stabilitas harga adalah salah satu motif bagi pembentukan kerjasama moneter suatu regional. Pada tahun 1985, keharmonisan kembali teruji, sistem beralih ke sistem pengaturan dollar yang relatif tehadap mata uang negara-negara Eropa. Hal itu difokuskan terutama untuk memaksa Jepang mengapresiasi Yen terhadap dollar.

Friday, August 13, 2010

Mundell 1997 : Could Gold Make a Comeback? part 4


Stabilitas Harga & Emas

Abad 20 bukanlah abad yang memuaskan dari poin awal kita membahas topik ini yaitu stabilitas harga. Jika kita mengukur magnitude dari inflasi baik tingkat kenaikannya dan total nilai (kenaikan) dari produk yang terpengaruh olehnya, kita menjadi yakin bahwa tingkat inflasi yang lebih tinggi telah dimulai sejak 1914 dibanding tingkat inflasi sepanjang milenium tersebut secara keseluruhan. Perlu dicatat bahwa awal mula dari inflasi besar (great inflations), tahun 1914, sama dengan dimulainya PD I di Eropa dan permulaan operasional sistem Federal Reserve di AS. Dari dua kejadian tersebut, yang terakhir pantas menjadi biang keladi kesalahan.
Beberapa hal yang perlu jadi perhatian, periode inflasi dapat menjadi lebih baik mulai 1934. Adalah benar bahwa harga menjadi dua kali lipat selama PD I. Tetapi dari dua tahap, tingkat harga tahun 1914 kembali pada titik semula. Deflasi selama resesi tahun 1920-1921 membawa kepada tingkat indeks harga, dengan basis tahun 1914 = 100, turun menjadi 130, dan deflasi semasa depresi hebat tahun 1930-1943 membawa kepada tingkat kembali pada keseimbangan harga sebelum perang dunia I.
Sebelum tahun 1914, perlu dicatat bahwa tingkat harga berdasarkan harga emas, stabil dalam jangka panjang. Tahun 1977, Roy W. Jastram mempublikasikan hasil studi yang luar biasa, dengan judul Gold Constant, dan diikuti dengan buku kedua tahun 1982 dengan judul Silver : The Restless Metal. Dalam buku ini, dia menyajikan grafik tingkat harga dari indeks harga seluruh barang dan jasa di Inggris dari tahun 1500 hingga saat itu (1982), dan data yang sama di AS sejak 1800. Data dari Inggris menyajikan siklus tingkat harga yang sangat konsisten selama 4 abad selama 1560 hingga 1914, Indeks harga Inggris ini cukup konstan. Ada memang gelombang inflasi dan deflasi yang halus tetapi cenderung menghilang. Perang Dunia I menimbulkan inflasi yang diikuti deflasi pasca perang, dan dengan mulainya depresi hebat, Inggris memutuskan kaitan mata uangnya dengan emas. Mulai dari saat itu dan ke depan, Inggris kehilangan disiplin moneternya masa Alfred of the Great. Inflasi sejak Inggris menanggalkan emas tahun 1931 dan khususnya sejak hancurnya sistem jangkar dollar (bretton woods) tahun 1971 adalah inflasi tertinggi dalam sejarah Inggris, lebih tinggi dari beberapa kasus inflasinya. Dalam seperempat abad sejak 1971, tingkat harga di Inggris naik 7,5 kali!
Selama periode ini, Inggris kehilangan reputasi klasiknya selama berabad-abad dalam stabilitas moneternya dan poundsterling berhenti sebagai mata uang utama internasional.
Sebagaimana poundsterling, sebagian besar mata uang kehilangan standar emasnya pada tahun 1930, oleh karenanya menghilangkan kendala konvertabilitas (kemampuan dapat ditukar dengan emas) dalam suplay uangnya. Meskipun begitu, hingga 1971, sistem ini mampu mempertahankan kaitan secara tidak langsung terhadap emas melalui fixed exchange rate (nilai tukar tetap) dengan patokan nilai Dollar. Pemisahan kaitan dengan emas tahun 1971 dan kebijakan flexible exchange rate (nilai tukar mengambang) tahun 1973 yang menghilangkan pagar pembatas dalam ekspansi moneter. Tingkat harga yang ada saat ini adalah arus utama yang saat ini dikendalikan sistem Federal Reserve (Bank Sentral AS), mesin terbesar dari inflasi yang setiap saat didesain. Karena tidak ada mata uang utama internasional lain, The Fed saat ini dapat saja memompa keluar milyaran dan milyaran dollar yang dapat digunakan dan dijadikan sebagai cadangan devisa oleh negara-negara lain. Tidak hanya itu surat berharga dan surat utang AS telah menjadi uang internasional dalam bentuk baru. Dollar menjadi cadangan dari bank internarsional baru yang memproduksi uang dalam pasar Eurodollar dan outlet-outlet di negara-negara lain. Suplay moneter internasional yang baru ini kini dibuat untuk mengakomodasi kenaikan tajam harga minyak tahun 1973. Kenaikan harga minyak 4 kali lipat menyebabkan defisit di Eropa dan Jepang yang dibiayai selama itu oleh Eurocredits, yang ujungnya ditalangi oleh ekspansi moneter AS. The Fed berargumen bahwa kebijakannya itu tidak akan berdampak menimbulkan inflasi yang jauh lebih tinggi lagi karena suplay uang di AS tidak naik secara berlebihan. Faktanya mereka telah mengekspor basis inflasi jauh di negeri orang. Sebagaimana yang saya tunjukkan dalam sebuah artikel yang dipublikasi tahun 1971, adalah dunia, bukan basis dollar nasional (AS) yang mengontrol inflasi. Harga-harga barang di AS naik 3,9 kali lipat, dalam seperempat abad setelah 1971, jauh di atas inflasi tertinggi sepanjang sejarah AS. Ada hubungan paralel yang kuat antara pengalaman AS dan Inggris. Antara tahun 1800 dan 1930, jauh ketika Dollar AS tidak dapat ditukar dengan mata uang lain (seperti sekarang) dan selama PD I ketika Poundsterling juga tidak dapat ditukar dengan mata uang lain (inconvertible), harga barang dan jasa di Inggris dan Amerika bergerak secara bersamaan. Hal ini yang semestinya terjadi di antara 2 negara dalam wilayah yang menggunakan mata uang yang sama. Kecuali dalam penyesuaian yang diperlukan dalam devaluasi di Inggris pada 1949 dan 1967, tingkat harga bergerak bersamaan dalam masa pasca perang. Tetapi perubahan yang fundamental datang seiring dengan hancurnya sistem moneter internasional pada tahun 1971. Sebagaimana telah dicatat AS dan Inggris mengalami inflasi, tetapi tingkat harga di Inggris naik 750% sementara AS naik sebesar 390%. Secara relatif poundsterling kehilangan setengah daya belinya terhadap dollar AS setelah pound beralih ke nilai tukar mengambang. Tingkat harga domestik di setiap negara menjadi tidak stabil setelah tahun 1970. Ini adalah benar bahkan untuk tingkat harga dari beberapa mata uang yang terapresiasi terhadap dollar sejak 1971. Inflasi paling cepat, sebagaimana teori keseimbangan daya beli (antar mata uang) akan mengatakan, hanya terjadi di negara-negara dengan mata uang yang paling terdepresiasi nilainya (nilai mata uangnya tergerus). Negara dengan inflasi terendah adalah negara yang mata uangnya paling kuat apresiasinya (kenaikan nilai mata uang). Tetapi bahkan di Jerman dan Jepang, yang mata uangnya memiliki apresiasi yang kuat terhadap dollar AS, tingkat harganya masing-masing naik 240% dan 290% antara tahun 1971 dan 1976. Terutama pada tahun 1971, sistem moneter internasional, berpatokan terhadap dollar yang sebelumnya berpatokan terhadap emas, menyebabkan inflasi dunia dalam pengawasan. Setelah tahun 1971, ketika jaminan emas dihilangkan, kontrol inflasi tergantung kepada aturan federal reserve. Hasilnya adalah pandemic inflation (inflasi yang meluas setingkat negara bahkan dunia) yang semuanya merupakan karakteristik dari gambaran yang permanen dimana generasi mendatang harus menghadapi dan menyelesaikannya.

Thursday, August 12, 2010

Sanering, Redenominasi, dan Solusinya

Pekan terakhir ini isu pemotongan nilai (redenominasi) marak bergulir di berbagai media, sebelum akhirnya dilibas oleh berita penangkapan ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Pemotongan nilai ini sesungguhnya adalah hal yang biasa terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia dengan tindakan sanering I pada tanggal 25 Agustus 1959 yang dituangkan dalam Lembaran Negara No. 89 dan dan Tindakan Sanering II pada tanggal 13 Desember 1965 dalam Lembaran Negara No. 102 tahun 1965. Negara lain yang masih hangat dengan kebijakan saneringnya adalah Korea Utara. Pemerintah Korea Utara melakukan sanering atau pemotongan nilai mata uang pada Selasa 1 Desember 2009 dimana nilai won lama Korea Utara dianggap 1/100 nilai won baru. Di kala ekonomi stabil pemotongan nilai ini disebut redenominasi sedangkan di kala ekonomi gonjang-ganjing kebijakan pemotongan nilai mata uang disebut dengan sanering.
Mengapa pemerintah perlu melakukan redenominasi? Alasan utamanya adalah efisiensi. Dengan semakin banyaknya angka nol di belakang satuan mata uang kita, maka tentu akan banyak menghabiskan energi dan memory para petugas bank dan komputer mereka. Belum lagi sistem keuangan internasional harus mengakomodasi sederet angka nol itu dalam konversi dengan mata uang negara lain. Dan menghabiskan biaya amat besar untuk mencetak uang baru dengan nominal yang lebih besar untuk menggantikan uang lama yang telah tergerus daya belinya. Alasan kedua adalah meredam inflasi, sebab dari tahun ke tahun nilai Rupiah semakin tidak bernilai atau tergerus daya belinya. Contoh bila tahun 2000 kita bisa mendapatkan 1 Dinar dengan uang Rp. 286.000,- maka saat ini butuh 5 kali lipatnya untuk mendapatkan barang yang sama atau saat ini 1 Dinar Rp. 1.492.660.
Namun kebijakan pemotongan nilai untuk meredam inflasi ini tidak selalu berhasil. Memang pada awalnya inflasi terkendali pasca sanering I 1959, inflasi turun dari 45,75% tahun 1958 menjadi 22,22% pada 1959. Namun pada tahun 1960 inflasi kembali mengalami peningkatan dan pada tahun 1962 masuk level hyperinflasi. Puncaknya pada tahun 1966 inflasi meroket mencapai 635, 26%.
Jadi kebijakan sanering, redenominasi, atau apapun namanya bukanlah solusi untuk mengatasi masalah efisiensi ataupun inflasi. Sebab itu hanya obat sesaat yang akan hilang khasiatnya seketika setelah pengaruhnya hilang, dan penyakitnya akan kembali kambuh dengan tingkat yang lebih parah pada masa mendatang. Solusinya tentu adalah Dinar sebagai mata uang Islam yang secara empiris telah terbukti eksis dan stabil berabad-abad dalam sejarah moneter internasional. Dan seperti pertanyaan Prof.Mundell dalam kuliahnya yang berjudul The International Monetary System in the 21st Century:Could Gold Make a Comeback?
Yes...gold will make a comeback dan itu akan diperankan oleh Islamic Gold Dinar dengan standar yang terlah eksis berabad-abad dalam sejarah Islam.

wallahu 'alam

Monday, August 9, 2010

Mundell 1997 : Could Gold Make A Comeback part 3


Teori Pengaruh Negara Superpower

Secara historis, kapanpun selalu ada negara superpower di dunia, mata uang negara superpower memainkan peran penting dalam sistem moneter internasional. Ini menjadi sejarah seperti mata uang Shekel (Kerajaan Babylonia) , Daric (Kerajaan Persia), Tetradrachma (Yunani), Stater (kerajaan Macedonia), denarius ( Kerajaan Roma), Dinar Islam, Ducat (Italia), doubloon (Spanyol), dan Livre (Perancis) sama populernya dengan Poundstreling pada abad 19 dan Dollar abad 20. Negara superpower memiliki ciri hak veto terhadap sistem moneter internasional dan karena manfaat secara internasional dari penggunaan mata uangnya, kepentingannya biasanya memveto setiap kolaborasi global yang akan menggantikan mata uangnya dengan mata uang internasional yang independen. Pada tahun 1870, AS dan Perancis mengkampanyekan reformasi moneter internasional dengan kembali menggunakan mata uang emas dan perak dan menyiapkan satuan nilai (mata uang) yang berstandar internasional. Negara mana yang mengatakan "tidak"? Adalah Inggris, sebagai pemimpin dunia saat itu pada abad 19. Sebagai negara superpower atau setidaknya "yang terdepan di antara negara-negara maju saat itu". Inggris selalu mengatakan "tidak" terhadap reformasi moneter internasional, mengatakan tidak terhadap setiap alternatif sebagai pengganti Pound sebagai satuan nilai (mata uang) dan sterling bill sebagai sebagai sarana pembayaran paling penting. Tapi ketika bintang (kejayaan) Inggris meredup dan kejayaan AS bersinar, posisinya adalah kebalikannya, dimana Inggris menghendaki reformasi moneter internasional dan AS, negara superpower baru menolaknya.
Pada Konferensi Emas Dunia tahun 1933, Perancis menghendaki reformasi moneter internasional. Perancis ingin AS dan Inggris kembali memperbaharui harga emas. Presiden Roosevelt mengatakan tidak, dan Dollar kembali (nilai tukar) mengambang, hingga secara sepihak AS mendevaluasi Dollar, menaikkan harga emas dari $20,67 per troy ounce menjadi $35. AS tidak ingin kembali kepada sistem moneter internasional, keculai dibawah prasyarat kepemimpinannya.
Pada perjanjian Bretton Woods tahun 1944, Presiden Roosevelt berkata pada Menteri Keuangannya Henry Morgenthau untuk membuat perencanaan bagi mata uang internasional pasca PD II. Para Ekonom ingat bahwa Harry Dexter White dan staf di Depkeu AS membuat rencana yang terlibat dalam pembuatan mata uang dunia yang disebut Unitas. Keynes, di London, membuat rencana tandingan dengan membuat mata uang yang meliputi seluruh dunia dengan nama bancor. Ketika delegasi Inggris menghadiri Konferensi Bretton Woods, mereka tetap menyimpan tanda tanya seputar mata uang dunia yang baru, tetapi delegasi AS saat itu memiliki rencana cadangan dan mereka tetap diam. Terlebih lagi ketika idealisme para akademisi internasional tergadai oleh kepentingan nasional negara mereka. Sebagai hasil dari pencerahan AS yang jauh berbeda dengan tidak hanya dari rencana Keynes (dengan Bancornya), tetapi juga dari penggagas Unitas. Bretton Woods tidak menghasilkan mata uang internasional yang baru; akhirnya malah menggunakan sistem yang sudah ada sejak 1934. Tidak pada waktunya untuk berbicara tentang sistem "Bretton Woods". Pada akhirnya sekali lagi konferensi Bretton Woods di New Hampshire, pada tahun 1944 tidak menghasilkan sebuah sistem moneter internasional yang baru. Malah konferensi tersebut justru menghasilkan dua institusi baru yaitu IMF dan Bank Dunia, yang didesain untuk ketergantungan dalam sistem keuangan internasional dan membangun monopoli kepentingan dengan jangkar standar Dollar. Sebagaimana Joan Robinson telah berkata dengan jeli dan jenaka : IMF adalah sebuah episode sejarah dari Dollar.

Saturday, August 7, 2010

Mundell 1997 : Could Gold Make a Comeback part 2


Kelemahan Sistem Moneter Internasional

Ketika sistem moneter internasional dikaitkan dengan emas, yang pada akhirnya menyebabkan saling ketergantungan di antara sistem mata uang sehingga menjadi jangkar bagi nilai tukar yang tetap (fixed exchange rate) dan menstabilkan inflasi. Ketika sistem Gold Standard hancur, fungsi yang bernilai ini tidak bertahan lama dan dunia terjebak dalam rezim inflasi yang terus menerus. Sistem moneter internasional saat ini tidak mengatur interdepensi (saling mengait) antara berbagai mata uang dan juga tidak menstabilkan harga. Alih-alih mengandalkan keseimbangan yang dihasilkan secara otomatis, AS terpaksa harus "menampar" mitra dagangnya yang mengancam layaknya musuh.
Setelah revolusi di Eropa Timur dan hancurnya komunisme, kita tiba-tiba memiliki 10 negara baru yang masuk dalam sistem moneter internasional, (pecahan Uni Soviet) seluruhnya dengan mata uang yang baru atau kebutuhan baru terhadap kebijakan mata uangnya. Sistem moneter seperti apa yang seharusnya Michel Camdessus (Managing Director IMF saat itu) rekomendasikan kepada negeri-negeri baru itu? Jawabannya akan menjadi nyata sebelum tahun 1971 : masing-masing negara itu mesti menstabilkan mata uangnya terhadap Dollar AS atau terhadap salah satu mata uang yang stabil yang berhadapan dengan Dollar AS yang dikaitkan dengan emas.
Memperbaiki nilai tukar terhadap blok Dollar yang meliputi hampir seluruh ekonomi dunia, telah memberi negara-negara transisi baru yang relatif memiliki tingkat harga yang stabil di antara negara-negara barat. Sekarang saya ingin menunjukkan kontribusi amat penting oleh IMF di antara awal pendiriannya tahun 1946 dan 1971. Pada awal pendiriannyaIMF memberi negara-negara sebuah filosofi manajemen makro ekonomik yang logis berdasarkan nilai tukar tetap atau terkendali (fixed exchange rate). Kesepakatan yang luar biasa ini sekarang diserahkan kepada para pemimpin moneter domestik. Untuk meyakinkan, sebuah negara dapat memperbaiki mata uangnya terhadap salah satu mata uang utama seperti Dollar AS. Pada praktiknya, kebijakan seperti itu memerlukan aksi dari kepemimpinan yang kuat; rencana stabilisasi (inflasi) melibatkan nilai tukar tetap yang diterapkan di Argentina oleh Domingo Cavallo yang menggambarkan betapa jarang kualitas pemimpin sepertinya. Dalam periode nilai tukar tetap sebelum 1971, kepemimpinan yang kuat tidak diperlukan sebab ada sebuah sistem dimana mayoritas negara mematuhinya dan IMF memiliki seperangkat aspek teknis untuk menerapkannya. Namun setelah tahun 1971 IMF kehilangan sentuhan tersebut ketika beralih dari nilai tukar tetap (terhadap emas) sebelum 1971 menjadi nilai tukar mengambang setelah 1971 dan khususnya setelah 1973, tahun dimana sistem moneter internasional membatalkan nilai tukar tetap beralih ke nilai tukar mengambang. IMF kemudian bergeser tugasnya sebagai pusat sistem moneter internasional menjadi peran baru sebagai konsultan makroekonomi khusus dan pengawas utang (bahkan broker utang-pent), fungsi yang sebenarnya bisa diperankan dengan baik oleh konsultan swasta. Ketika tantangan dari negara-negara transisi muncul, IMF tidak memiliki sistem yang saling mengait untuk stabilitas moneter untuk menawarkan sistem yang baik dan hampir tanpa pengeculian seringkali konsep yang ditawarkan serampangan. Kegagalan negara transisi dibuktikan dengan fakta bahwa tidak satupun dari negara-negara tersebut di akhir 1996, mampu melampaui tingkat pendapatan sejak masa transisi bermula, dan hanya dengan satu atau dua pengecualian, inflasi kembali mencapai 2 digit. Perbaikan sejak akhir perang dingin sejauh ini lebih memburuk dibanding perbaikan di akhir sebagian besar perang dunia (I dan II) yang amat menghancurkan.
Sistem moneter internasional yang absolut di dunia saat ini tidaklah ada. Setiap negara memiliki sistemnya sendiri. Kebanyakan orang tidak mengerti bagaimana tidak biasanya (unusual) sistem ini. Selama ribuan tahun negara-negara telah mematok mata uang mereka terhadap salah satu logam mulia (emas atau perak) atau terhadap mata uang lain. Tetapi dalam seperempat abad terakhir sejak sistem moneter internasional (bretton woods) hancur, negara-negara mengadopsi sistem moneternya sendiri, fen omena yang tidak memiliki contoh sejarah dalam kerjasama antar negara yang dikenal sebagai sistem moneter internasional. Para ekonom mengetahui bahwa ketergantungan diantara sistem moneter internasional didukung oleh fakta bahwa keseimbangan neraca pembayaran (suatu negara) saling berhubungan satu sama lain. Apabila satu negara memiliki neraca perdagangan yang surplus maka negara-negara lain memiliki neraca perdagangan yang defisit. Jadi suatu negara bergerak menuju surplus atau defisit yang secara otomatis berpengaruh terhadap negara lain. Ini memiliki pengaruh di dalam sistem nilai tukar mata uang. Di dalam sebuah dunia dari n negara dengan n mata uang, ada n-1 nilai tukar yang independen. Setiap negara tidak dapat menetapkan nilai tukarnya. Akan ada banyak nilai tukar tetap di antara negara-negara. Ada satu derajat bebas (degree of freedom), yang membiarkan kenaikan terhadap apa yang para ekonom menyebutnya dengan (redundancy problem) masalah kelebihan . Aturan dimana tambahan derajat kebebasan untuk memelihara kestabilan harga, atau dalam kasus standar emas (gold standard) adalah memelihara atau menstabilkan harga emas.
Di atas kertas, pengumpulan data hampir 200 negara dengan mata uang tunggal dan nilai tukar mengambang akan menunjukkan hasil berupa kebingungan yang luar biasa. Dalam prakteknya, bagaimanapun juga, sistem ini tidaklah begitu buruk. Ada hubungan yang penting dalam struktur finansial dunia berkenaan dengan konfigurasi kekuatan dalam ekonomi dunia dan aturan khusus yang dijalankan oleh mata uang negara AS. Ketika suatu negara memiliki supereconomy, mata uangnya seringkali memenuhi banyak fungsi dari sebuah mata uang internasional, sebuah judul yang kita coba berangkat dari sini.

Monday, August 2, 2010

AS takut dengan Dinar


Dinar lebih berbahaya dari senjata nuklir sekalipun. Karena dengan ini, Amerika akan kehabisan daya tekan kepada dunia global.
Masyarakat tidak perlu khawatir bahwa dinar dirham berbau Islamis, Arab atau Timur Tengah. Karena sesungguhnya apa yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia (BI) adalah satu sistem ekonomi yang stabil. Sistem ekonomi yang stabil itu tergantung kepada sistem mata uangnya.

Menurut Pakar Ekonomi Syariah, Dr. Muhammad Syafii Antonio, MEc , salah satu kelemahan sistem mata uang kertas kita sekarang ini, adalah risiko mengalami depresiasi (penurunan nilai) karena inflasi permanen.

"Sekarang yang dibutuhkan bagi kita adalah kita memiliki satu sistem yang kuat. Ada memang kekhawatiran-kekhawatiran dengan dinar, terutama mungkin dari ekonom Barat, dan itu wajar," kata Dr. Muhammad Syafii Antonio, MEc,.
Dijelaskan Antonio, kekhawatiran itu wajar karena pada hakekatnya kita sekarang sedang berkompetisi. Siapa yang memiliki mata uang, dia akan menguasai ekonomi. Siapa yang menguasai ekonomi, dia akan menguasai dunia. Politik itu diatur oleh ekonomi.

Kepentingan politik itu banyak diatur oleh ekonomi, sehingga Amerika tidak akan senang kalau mata uang dolarnya itu menjadi tidak dipakai. Yang akan menjadi berbahaya, kalau seandainya Eropa sudah menyatu dengan mata uang euro. Kemudian China, Taiwan, Hongkong, Shanghai, juga sudah sendiri.

"Dan dunia Islam sendiri juga memakai dinar dirham, maka dolar Amerika tidak akan ada yang memakai, kecuali dipakai Amerika sendiri, dan mungkin dengan Kanada," imbuh Komite Ahli Pengembangan Perbankan Syariah pada Bank Indonesia ini.

Hal ini sesungguhnya, tegas Antonio, lebih berbahaya dibanding senjata nuklir sekalipun. Karena dengan ini, Amerika akan kehabisan daya tekan kepada dunia global. Dia tidak akan bisa menekan lagi secara ekonomi, sebab dolar tidak ada yang memakai lagi.

"Ini yang paling dikhawatirkan oleh Amerika. Makanya, segala upaya yang mengarah kepada adanya blok yang lain, akan dihambat olehnya," ujarnya memungkasi. [ain/www.hidayatullah.com]