www.gata.com

Grafik Pergerakan Harga Dinar dalam Rupiah & Dollar AS


 

Tuesday, June 12, 2012

Polisi Syariah (bagian 1)


Belum lama ini pemda Tasikmalaya ingin menerapkan polisi syariah di wilayahnya. Kontan saja penentangan muncul dari pusat, baik di DPR maupun pemerintah pusat. Dari DPR Nurul Arifin politisi partai Golkar langsung menolak ide ini  dengan alasan diskriminatif, sedangkan Mendagri Gamawan Fauzi mantan Gubernur Sumbar (daerah yang terkenal dengan asas adat basandi syara', syara basandi kitabullah-adat bersendikan syariat, syariat bersendikan kitabullah Al Quran ) dengan tegas menolak ide ini dengan alasan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. (adakah hukum yang lebih tinggi dari hukum Allah).

Maka menarik untuk dipelajari lembaga kepolisian di dalam Islam. Adakah lembaga ini dalam sejarah Islam? Kalau ada, bagaimana sejarah lembaga kepolisian dalam peradaban Islam? Apa fungsi dan tugasnya?  Siapa pula yang mempeloporinya dan bagaimana urgensi lembaga ini dalam zaman kita saat ini dan di masa depan?

Dalam sejarah Islam lembaga kepolisian ini bernama Asy-Syurthah. Kepolisian merupakan lembaga yang urgen dalam pemerintahan Islam dan merupakan ciri khas dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Lembaga ini terdiri dari para serdadu yang menjadi tulang punggung penjaga keamanan negara dan sistem pemerintahan serta melaksanakan perintah-perintah yang dimaksudkan untuk menjaga keselamatan masyarakat, mengamankan jiwa raga dan harta benda mereka, dan harga diri. Secara umum mereka adalah pasukan  penjaga keamanan dalam negeri.

Sistem kepolisian sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. Imam Bukhari mengemukakan dalam Shahihnya bahwa Qais bin Sa'ad dihadapan Rasulullah saw adalah kepala polisi keamanan dari penguasa. 

Sedangkan yang pertama kali memperkenalkan sistem patroli (Al-Uss) dalam Islam adalah Umar bin Khathab. Al-Uss artinya adalah apabila seseorang berkeliling di malam hari untuk menjaga keamanan masyarakat dan mengungkap kejahatan. Umar bin Khathab sering kali melakukannya di Madinah pada malam hari.

Dari penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa lembaga kepolisian telah terbentuk secara sederhana sejak masa khulafaurasyidin, dan mengalami perkembangan dan semakin sistematis pada masa kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Pada awalnya lembaga kepolisian ini berada di bawah lembaga peradilan. Tugasnya adalah melaksanakan sangsi-sangsi yang diputuskan hakim. Namun dalam perkembangannya lembaga ini memisahkan diri dan membentuk lembaga sendiri dibawah  kepala kepolisian. Kepala kepolisian ini pula yang berhak menentukan tindakan-tindakan kriminal. Di setiap kota dan wilayah ada polisi-polisi yang bertanggung jawab terhadap keamanan di wilayahnya masing-masing yang tunduk kepada atasannya secara langsung yaitu kepala kepolisian yang mempunyai beberapa wakil dan pembantu dengan tanda pangkat khusus, seragam khusus, dan tombak pendek, yang bertuliskan beberapa kata yang menunjukkan nama kepala kepolisian. Mereka juga membawa lampu penerangan pada malam hari dan ditemani anjing penjaga.

Kemudian Mu'awiyah bin Abu Sofyan memperluas tugas dan kewenangan kepolisian serta mengembangkannya. Ia menambahkan polisi pengawal pribadi. Mu'awiyyah merupakan orang pertama yang mengangkat pengawal pribadi dalam peradaban Islam, terlebih lagi jika melihat banyak pemimpin negara Islam yang terbunuh seperti Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhum.    

Karena itu maka kepolisian  pada masa kekhalifahan Bani Umayyah menjadi petugas pelaksana perintah khalifah, hingga beberapa gubernur merangkap jabatannya. Pada tahun 110 H, Khalid bin Abdullah diangkat sebagai gubernur Bashrah di samping jabatannya sebelumnya sebagai kepala kepolisian.

Kekhalifahan Bani Umayyah menyadari arti penting jabatan ini dan fungsi vitalnya. Maka dirumuskanlah beberapa standar terukur mengenai karakter-karakter yang harus dimiliki seorang kepada kepolisian. Ziad bin Abih mengatakan "Kepala kepolisian hendaklah memiliki kecakapan dan kuat dan tidak mudah lupa, sedangkan pengawal pribadi hendaklah telah berumur, mampu menjaga kesucian diri, dan tidak memiliki catatan kriminal.

Seorang gubernur Irak Al Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan mencari seseorang yang mampu menjadi kepala kepolisian di Kufah. Untuk itulah, maka ia bermusyawarah dengan beberapa tokoh dan mereka yang berpengaruh. Lalu mereka bertanya kepadanya. "Lelaki yang bagaimana yang kamu inginkan? Ia menjawab "Aku menginginkan lelaki yang Thawil al-Julus (ungkapan yang artinya seseorang yang memiliki kesabaran dan kecakapan) , Samin Al-Amanah (ungkapan tentang kemampuannya untuk menjaga dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab), A'jaf Al-Khianah (ungkapan kemampuan tentang tugas dan tanggung jawab juga ketika seseorang tidak memiliki tanggung jawab), tidak meremehkan kebenaran mesti sekecil apapun, dan tidak menerima penengah atau campur tangan dari para pemimpin negara dan orang-orang yang berpengaruh". Kemudian salah seorang penasihatnya mengatakan" Hendaklah kamu memilih Abdurrahman bin Ubaid at-Tamimi". Kemudian Abdurrahman bin Ubaid pun dipanggil menghadap kepadanya untuk diangkatnya. Akan tetapi Abdurrahman mengatakan,"Aku tidak bersedia menerimanya kecuali kamu melindungiku dari keluargamu, putramu, dan pengawalmu." Al Hajjaj mengatakan,"Wahai anak muda, serukanlah kepada semua orang," Barangsiapa dari mereka yang mengadukan keperluannya kepadamu, maka aku tidak mencampurinya."
 
Karena kompetensi dan kemampuannya dalam memulihkan keamanan, maka Asy-Sya'bi mengatakan, "Terkadang ia bertugas selama empat puluh malam dan tidak seorangpun yang diadukan kepadanya. Melihat prestasinya ini, maka Al-Hajjaj menggabungkan kepolisian Bashrah dan Kufah dalam wilayah kekuasaannya."

Karena itulah, tugas kepala kepolisian semakin berkembang pada masa kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Dalam hal ini sejarahwan Ibnu Khaldun mengatakan,"Pengawasan terhadap berbagai tindak kejahatan dan penerapan sangsi-sangsinya dalam pemerintahan Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah di Andalusia, Al Ubaidi di Mesir dan Maroko diamanatkan kepada kepada kepolisian. Kepala kepolisian merupakan salah satu jabatan keagamaan pada masa pemerintahan tersebut.Tugas dan pengawasannya mengalami perluasan dan hingga mencakup hukum-hukum pengadilan, membuat tuduhan, menerapkan sangsi-sangsi pencegahan sebelum kejahatan-kejahatan tersebut benar-benar terungkap dan menerapkan sangsi yang sudah tetap, menjatuhkan Qishash, menjatuhkan ta’zir dan hukuman kepada orang yang terus-menerus melakukan kejahatan.

Apabila tugas kepala kepolisian pada masa khulafaurasyidin dan permulaan kekhalifahan Bani Umayyah mengalami peningkatan dari pelaksana perintah-perintah lembaga kekhalifahan menjadi pengawas berbagai tindak kejahatan dan menerapkan sangsi-sangsinya, maka pemerintahan Islam melihat arti pentingnya pendirian lembaga pemasyarakatan untuk memasukkan para penjahat, dan mereka yang menjadi provokator dan sumber kejahatan, serta berbagai kerusuhan dalam negara.

Ath-Thabari mengemukakan bahwasanya Ziad bin Abih memasukkan beberapa pemberontak dalam tahanan, terutama kelompok Ibnu Al-Asy’ats seperti Qabishah bin Dhubai’ah Al-Asadi.

Untuk membangun rumah-rumah tahanan ini , pemerintah mempergunakan harta Baitul Mal sebagai modal pembiayaannya. Sebab rumah-rumah tahanan ini mampu membendung kejahatan para residivis dan gangguan mereka terhadap masyarakat. Boleh saja mempergunakan Baitul Mal sebagai modal pembiayaan pembangunan rumah tahanan ini. Karena itulah, maka Al Qadhi Abu Yusuf mengusulkan kepada khalifah Harun Al Rasyid untuk melengkapi rumah-rumah tahanan dengan pakaian-pakaian kapas pada musim panas dan wol pada musim dingin. Perhatian terhadap kesehatan para tahanan merupakan salah satu kebijakan penting.

Para khalifah Bani Abbasiyah berupaya mengangkat para kepala kepolisian yang berkarakter keilmuwan, memiliki ketakwaan dan wawasan tentang hukum-hukum Islam dan tidak dicela dalam menerapkan sangsi-sangsi. Dalam Tabshirah Al-Hukkam, Ibnu Farhun mengatakan,” Pada suatu ketika, kepala kepolisian Ibrahim bin Husain bin Khalid menerapkan sangsi kepada salah seorang saksi palsu di depan pintu gerbang sebelah barat. Lalu ia mencambuknya sebanyak empat puluh kali, mencukur jenggotnya, dan menghitamkan wajahnya, diarak sebelas kali dalam dua masa, seraya menyerukan,” Inilah balasan bagi orang yang memberikan kesaksian palsu,” Kepala kepolisian ini adalah orang yang memiliki keutamaan, terbaik, dan pakar hukum Islam, serta pandai tentang tafsir dan menjadi kepala kepolisian bagi Al-Amin Muhammad. Ia hidup semasa dengan Mutharrif bin Abdullah sahabat Imam Malik dan meriwayatkan Muwaththa’nya darinya.

Karena kompetensi yang dimiliki beberapa komandan militer dalam kekhalifahan Bani Abbasiyah, khalifah Al-Makmun mengangkat Abdullah bin Thahir bin Al-Husain sebagai kepada kepolisian di ibu kota kekhalifahan Baghdad setelah ia bertugas dalam bidang kemiliteran dan ikut dalam berbagai peperangan dan penaklukan-penaklukan yang dilancarkannya.

Lembaga kekhalifahan juga tidak segan-segan memberhentikan secara tidak hormat terhadap kepala kepolisian yang menyeleweng, yaitu mereka yang memberikan sangsi lebih dari semestinya dan tidak mengedepankan bukti-bukti dalam kepemilikan. Khalifah Al-Muqtadir Billah dari Bani Abbasiyah memberhentikan secara tidak hormat terhadap Muhammad bin Yaqut seorang kepala kepolisian di Baghdad dan tidak memperbolehkannya memegang jabatan apa pun dalam pemerintahan karena sikap dan perilakunya yang buruk menyimpang.

Tugas dan kewenangan kepala kepolisian pada masa sekarang sangatlah beragam dan komplek. Di sebagian besar negara-negara Islam, kepala kepolisian merangkap jabatan di samping menjaga keamanan, menangkap para pencuri dan penjahat, dan menjaga ketertiban umum. Mazahim bin Khaqan (235 H) seorang gubernur Mesir menginstruksikan kepada kepala kepolisiannya Azjur At-Turki untuk melarang kaum perempuan mengenakan pakaian yang membangkitkan birahi ataupun berziarah kubur, menghukum para bencong dan orang-orang yang meratapi jenazah secara berlebihan, disamping mencegah tempat-tempat hiburan dan memerangi minuman keras.

Adapun para polisi yang mengabaikan tugas-tugas mereka, maka para khalifah memaksa mereka untuk segera mengoreksi kesalahan mereka dengan segera, mencari kebenarannya dan mencegah penyebaran dampak negatifnya pada masyarakat umum. Imam Ibnul Qayyim dalam Ath-ThuruqAl-Hukmiah mengemukakan sebuah kisah yang membuktikan tentang tugas dan kecerdikan petugas kepolisian pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah terutama pada masa-masa krisis.

Dalam sebuah peristiwa disebutkan bahwasanya beberapa pencuri melakukan aksi pencurian besar-besaran pada masa khalifah Bani Abbasiyah Al-Muktafi dan berhasil mendapatkan harta yang berlimpah. Mendapati peristiwa ini,  maka Al-Muktafi segera menginstruksikan kepada kepala kepolisian untuk menangkap para pencuri tersebut atau harus membayar denda dengan sejumlah harta.
    
Mendengar perintah dan ancaman sang khalifah ini, maka kepala kepolisian itu pun segera memacu kendaraannya dan mengelilingi  wilayah tersebut sepanjang siang dan malam. Hingga pada suatu ketika ia melewati sebuah lorong yang sepi yang terletak di sebuah sudut kota. Kemudian ia pun segera turun dari kendaraannya dan memasuki komplek yang sepi tersebut dan ia mendapati sesuatu yang mencurigakan.Tiba-tiba ia melihat duri-duri ikan dan tulang belulang yang sangat banyak di beberapa pintu dari sebuah rumah. Lalu kepala polisi itu pun bertanya kepada salah seorang penduduk setempat. “Berapa kira-kira harga ikan ini dengan jumlah duri dan tulang belulang sedemikian banyak?”Orang yang ditanya menjawab,” Satu Dinar.” Kepala polisi bertanya lagi,” Warga lorong ini tidak mungkin membeli sesuatu sebanyak ini jika melihat kondisi perekonomian mereka. Sebab lorong ini jelas-jelas tertinggal dan berada di dekat gurun, tidak seorang pun yang tinggal di sini dengan membawa harta sebanyak itu atau ia membelanjakan hartanya dengan jumlah banyak. Semua ini pastilah mengundang teka-teki yang harus segera diungkap,”Mendengar keterangan polisi ini, maka warga tersebut mengingkarinya seraya mengatakan, “Ini tidak mungkin.” Lalu ia mengatakan.“Carikanlah seorang perempuan yang tinggal di gang buntu. Aku ingin berbincang-bincang dengannya.” Kemudian mereka menunjukkan pada sebuah rumah. Polisi itupun mendatangi sebuah pintu rumah selain rumah yang banyak durinya tersebut dan mengetuk pintunya, seraya berpura-pura meminta air minum. Kemudian keluarlah seorang perempuan yang telah lanjut usia. Polisi itu pun masih saja meminta air minum seteguk dan seteguk sambil berbincang-bincang dengannya dan perempuan tua itu dengan sabar menuangkannya. Selama itu pula sang polisi menanyakannya tentang gang buntu itu dan orang-orang yang menghuninya. Perempuan tua memberitahukan segala sesuatu yang ditanyakan kepadanya tanpa menyadari akibat dari keterangannya itu. Hingga polisi itu bertanya kepadanya,”Dan rumah ini siapa yang menghuninya?-sambil menunjuk pada rumah yang banyak duri dan tulang belulangnya-,”Perempuan tua itu menjawab,” Rumah itu dihuni lima orang pemuda yang berpenampilan garang dan pemberani. Sepertinya mereka para pedagang. Mereka tinggal di rumah tersebut sejak sebulan yang lalu. Kami tidak melihat mereka kecuali pada siang hari dalam waktu yang lama. Kami pernah melihat salah seorang dari mereka keluar dari rumah tersebut untuk suatu keperluan dan kemudian kembali  dengan tergesa-gesa. Sepanjang siang mereka hanya makan dan minum, bermain catur dan dadu. Mereka mempunyai seorang pembantu yang melayani kebutuhan mereka. Ketika malam menjelang maka mereka pulang ke rumah pelacuran dan meninggalkan pembantunya di dalam rumah untuk menjaganya. Menjelang pagi maka mereka datang dan kami sedang tertidur sehingga tidak merasakan kehadiran mereka.” Lalu perempuan itu bertanya kepada polisi tersebut ,”Apakah ini ciri-ciri pencuri ataukah tidak?”Sang polisi menjawab,”Ya”.

Setelah melakukan penelusuran dan yakin dengan sasarannya, maka polisi itu pun segera mengontak sepuluh polisi lainnya dan menyiagakan mereka di atap-atap rumah tetangga. Sedangkan ia sendiri mengetuk pintu rumah para pencuri tersebut. Lalu si pembantu membukakannya. Lalu kepala kepolisian itu masuk dan ditemani sang pembantu. Tidak satupun dari para pencuri itu yang lepas dari penyergapannya. Mereka adalah para pelaku kejahatan.

Kisah ini membuktikan kecerdasan dan kecerdikan seorang kepala kepolisian Baghdad dan kecekatannya melaksanakan instruksi sang khalifah.

Bersambung
Sumber : Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (Prof.Dr. Raghib As-Sirjani, 2011 Penerbit            Pustaka Al Kautsar)

No comments: