www.gata.com

Grafik Pergerakan Harga Dinar dalam Rupiah & Dollar AS


 

Tuesday, June 11, 2013

Sekilas Sejarah mata Uang di Indoensia : Dari Emas Jadi Kertas

ROHIMIN, 57 tahun, warga Sidoarjo, Jawa Timur, menemukan 10.388 keping uang kuno saat membuat saluran pembuangan air di belakang rumahnya pada 23 November 2008. Uang bertuliskan huruf China itu merupakan peninggalan zaman Kerajaan Majapahit. Alih-alih menyimpan atau menjualnya, dia memilih menyerahkan temuannya kepada pemerintah –kendati sempat memamerkannya ke warga dengan memasang tarif Rp1.000. Dia mendapat kompensasi sebesar Rp3 juta; jumlah yang kecil dibandingkan nilai uang itu. Tapi apa jadinya jika uang-uang itu jatuh ke tangan kolektor uang kuno?
Hobi mengoleksi uang kuno marak setidaknya dua dekade ini. Penghobinya akan berburu ke berbagai tempat untuk menambah koleksinya. Tak sedikit pula yang menjajakannya, entah asli atau palsu, di pinggiran jalan hingga situs-situs internet. Uang dibeli dengan uang, dengan nilai yang tinggi.
Sejak kelahirannya uang selalu menjadi alat tukar yang penting. Keberadaannya tak bisa dilepaskan dengan lalu-lintas perdagangan di Nusantara. Tak heran jika uang yang digunakan pun beragam, baik bahan pembuatan, bentuk, ukuran, maupun penandanya.

Pada masa Hindu-Budha, mata uang masyarakat Jawa berupa potongan emas dan perak, berbentuk setengah bulat, segiempat, atau segitiga, dan terdapat cap bergambar jambang, tiga kuntum bunga, atau tiga tunas daun. Ada yang berbentuk seperti kancing, dengan cap huruf Nagari berbunyi mā pada sisi cembung dan cap bunga empat kelopak pada sisi cekung. Ada juga uang emas berbentuk butiran jagung. Kedua uang seberat 2,4 gram ini digunakan pada zaman Kerajaan Mataram, Kediri, dan Singasari, hingga awal kemunculan Majapahit sekira abad ke-14, yang juga mengedarkan uang tembaga, kuningan, dan timah.

Saat itu para pedagang China yang bermukim di wilayah Majapahit sendiri bertransaksi memakai kepeng China –masyarakat Jawa menyebutnya uang gobog. Hiasan pada satu atau kedua sisi uang gobog yang terbuat dari kuningan dan tembaga itu berupa relief manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tulisan, maupun kehidupan masyarakat Majapahit. Selain itu, ada gobog bertuliskan syahadat dalam huruf Arab, yang membuktikan masyarakat Majapahit yang mayoritas Hindu-Budha sudah menganut Islam. Selain untuk membeli, gobog digunakan sebagai media penyebaran agama dan peranti upacara agama, sesaji, bekal kubur, ataupun jimat.  

Masa perkembangan Islam ditandai dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam dari abad ke-13 sampai ke-19. Mata uang kerajaan Islam sebagian besar bertuliskan nama-nama sultan dan tahun hijriyah dengan huruf Arab atau Jawi. Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh Darussalam membuat uang emas disebut derham, uang timah kasha, dan uang perak.  Kerajaan Palembang mengeluarkan uang berbahan tembaga dan timah: piti teboh (berlubang di tengah) dan piti buntu (tanpa lubang). Kerajaan Banten mengedarkan kasha dari tembaga, yang pada satu sisinya bertuliskan huruf Jawa: Pangeran Ratu ing Bantam. Kerajaan Cirebon merilis uang buatan orang China, picis. Di sekeliling lubang uang timah yang tipis dan mudah pecah ini tertulis: Chirebon. Kerajaan Gowa mengedarkan uang emas, jingara dan uang campuran timah dan tembaga, kupa.

Sedangkan Kerajaan Buton menerbitkan uang katun kampua atau bida, juga dikenal dengan lapjesgeld. Konon, uang ini ditenun oleh putri-putri keraton. Untuk mencegah pemalsuan yang diganjar dengan hukuman mati, setiap tahun uang lama ditarik dan dimusnahkan, lalu diganti corak baru.

Kerajaan-kerajaan Islam di Pontianak, Banjarmasin, dan Kalimantan Selatan mengedarkan uang tembaga yang disebut duit. Sementara Kerajaan Sumenep mengedarkan uang asing yang diberi cap tulisan Arab, Sumanap, yaitu real batu (beredar di Mexico lalu di Filipina), gulden Belanda, dan thaler Austria. Untuk mencegah pemalsuan, uang yang beredar pada 1818-1819 ini diberi cap khusus motif bunga, angka 600, dan tanda pengenal saudagar.

Awal abad ke-16, pedagang Portugis mengenalkan uang pasmat dan real dari perak. Kemudian, masa kolonial Belanda beredar uang dengan berbagai nilai satuan: schelling, dukat, dukatoon, duit, stuiver, rijksdaalder, dan gulden. Lantaran sulit mendapat bahan baku logam, kolonial Belanda menerbitkan uang kertas menyerupai sertifikat. Menjelang dan setelah VOC bubar, dibuat uang darurat, bonk, terbuat dari potongan-potongan batang tembaga segiempat yang dicetak di Batavia; dan uang bertuliskan INDIÆ BATAVORUM. Dan pada 1806-1811 beredar uang logam dan kertas berharga bertuliskan LN: Louis Napoleon.

Pada masa pendudukan Inggris (1811-1816), di Jawa beredar bermacam uang dari emas, perak, tembaga, dan timah. Salah satu yang terkenal adalah rupee Jawa, yang pada kedua sisinya tertera tulisan dengan huruf Jawa dan Arab. Mata uang Inggris dengan monogram UEIC (United East India Company) beredar di Bengkulu sejak 1783 dengan satuan suku dan keeping. Kembalinya kekuasaan Belanda, diperkenalkan uang ringgit Belanda Seri Raja Willem der Nederlanden tahun 1840, Raja Willem II der Nederlanden tahun 1848, Raja Willem III der Nederlanden tahun 1865, dan Ratu Wilhelmina der Nederlanden tahun 1930. 

Bahkan ada uang yang menjadi saksi penderitaan buruh, yakni token perkebunan yang muncul pada era tanam paksa. Uang ini dibuat para pemilik kebun demi mencegah para buruh kabur, dan hanya berlaku di kawasan tertentu. Bentuknya beragam: segitiga, segilima, segienam, dan seperti mata.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, uang kertas yang beredar masih menggunakan bahasa Belanda dengan satuan gulden, sehingga disebut gulden Jepang. ketika Jepang menghapus segala hal berbau Belanda, Jepang memberlakukan uang yang dicetak dalam bahasa Indonesia dan Jepang. Uang kertas yang disebut rupiah Jepang ini tidak bernomor seri dan tidak bertanda tangan pejabat berwenang. Uang itu berlaku hingga beberapa saat setelah pendudukan Jepang berakhir.

Pada awal kemerdekaan keadaan ekonomi ditandai dengan hiperinflasi akibat peredaran mata uang yang tak terkendali, sementara pemerintah Indonesia belum memiliki mata uang sendiri. Ada tiga mata uang yang dinyatakan berlaku pada 1 Oktober 1945: mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank. Di antara ketiga mata uang tersebut, yang nilai tukarnya anjlok adalah mata uang Jepang. Peredarannya mencapai empat milyar sehingga terjadi hiperinflasi. Yang paling menderita adalah petani, karena mereka menyimpan banyak mata uang Jepang. Pemerintahan pun demikian. Dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno menceritakan, dokter pribadinya, Suharto, yang juga menjadi bendahara negara, menimbang setumpuk uang kertas dan membagi-bagikannya kepada para penyelenggara negara secara kiloan.

Kekacauan ekonomi akibat hiperinflasi diperparah oleh kebijakan Belanda pada 6 Maret 1946, yang mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di seluruh wilayah yang diduduki pasukan Belanda. Pemerintah Indonesia protes karena melanggar persetujuan bahwa masing-masing pihak tak boleh mengeluarkan mata uang baru selama belum adanya penyelesaian politik. Belanda mengabaikan protes itu dan tetap menggunakan uang NICA untuk membiayai operasi-operasi militernya.

Pada 26 Oktober 1946, pemerintah Indonesia memberlakukan mata uang Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai alat tukar yang sah di seluruh wilayah Indonesia. Ditutupnya percetakan uang di Jakarta oleh Sekutu, membuat Mohammad Hatta mencari percetakan lain dan menemukan percetakan Kolff di Malang, Jawa Timur. Kualitas cetaknya lebih buruk dibanding percetakan di Jakarta. Pencetakan ini dikerjakan dengan tangan, sehingga disebut mesin cetak tangan. “Kami tidak mempunyai apa-apa sebagai penjamin uang kertas itu, kecuali sebuah mesin cetak tangan. Karena mutunya tidak bagus, tak satu pun negara di luar negeri mau menerimanya,” kata Sukarno.

Meski ORI resmi beredar pada 31 Oktober 1946, namun tanggal cetak yang tercantum, 17 Oktober 1945. Menyambut peredaran perdana ORI, Hatta mengumumkan melalui siaran radio ke seluruh negeri bahwa Republik Indonesia telah memiliki mata uang sendiri, karena itu mata uang NICA harus ditolak. Kekuatan rupiah setara dengan gulden Belanda sebelum masa perang. Hatta mendesak agar orang Indonesia menganggap rupiah sebagai simbol kemerdekaan dan pembangunan ekonomi.
Sejak itu uang Jepang, uang Hindia Belanda dan uang De Javasche Bank tak berlaku lagi. Hanya dua mata uang yang beredar: ORI dan NICA; masing-masing diakui oleh yang mengeluarkannya.
Pada periode 1947-1949, beberapa daerah mengeluarkan Oeang Repoeblik Indonesia Daerah (ORIDA). Hal ini dilakukan buat menahan gempuran uang NICA serta jurus pemalsuan ORI yang dilancarkan Belanda. Peredaran ORIDA berhenti sejak Maret 1950, seiring terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).

http://historia.co.id/artikel/resensi/670/Majalah-Historia/Bukan_Sembarang_Uang

Grant Williams: "Do The Math!"

Dalam sebuah  masterclass mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di dunia saat ini, Grant Williams mempresentasikan video yang layak ditonton. Memulai dengan premis bahwa logika matematika tidak dapat diganggu gugat, manajer investasi Austalia ini menyusun masalah filosofi bahwa pasar dunia saat ini kelihatan goyah. Dengan grafik-grafik yang menarik, Williams menunjukkan rangkaian masalah mulai dari "Masalah 1: Bila ekonomi global mengalami tarik ulur, Eropa mengalami resesi, ekonomi Cina melemah dan pertumbuhan ekonominya tidak mungkin lebih tinggi lagi, apa yang terjadi dengan pasar modal? hingga"masalah 7 : The Gold Price and The Price of Gold are mutually exclusive"


07:26 Williams' Problem 1:Bila ekonomi global mengalami tarik ulur, Eropa mengalami resesi, ekonomi Cina melemah dan pertumbuhan ekonominya tidak mungkin lebih tinggi lagi, apa yang terjadi dengan pasar modal?


16:24 Williams' Problem 2: Bila industri Cina mengendur, permintaan bahan baku merosot tajam, impor dan ekspor turun, dan konsumsi Cina jatuh, mengapa  pertumbuhan GDP Cina masih bisa mencapai angka 7,7%.



20:40 Williams Problem 3:Perancis?! Berikut adalah pertumbuhan mobil di Perancis yang mengalami penurunan rata-rata signifikan, termasuk made in Perancis sendiri Peugot/Citroen dan Renault




33:35 Williams' Problem 7: The Gold Price and The Price of Gold are mutually exclusive



Khusus mengenai kejatuhan harga emas bulan April tahun ini, Grant Williams -yang mempresentasikan ini pada konferensi institut CFA di Singapura 21 Mei 2013- menekankan  dengan kalimat "mathematically inexplicable pressure"  atau tekanan penurunan harga emas  ini secara matematis tidak dapat dijelaskan. Dan juga menjelaskan ada perbedaan mendasar antara "the gold prie" dan "the price of gold" -- dimana yang menjadi acuan adalah harga emas fisik di pasaran bukan harga emas berdasarkan  futures market.Williams memang tidak dengan gamblang menjelaskan bahwa pasar emas saat ini menjadi sasaran intervensi pemerintahan dan bank sentral dunia dengan tujuan propaganda dan menakut-nakuti investor emas agar menjauh darinya, dengan mengangkat pamor dollar dan euro.

wallahu 'alam

sumber :  http://www.zerohedge.com/news/2013-05-26/grant-williams-do-math